Jauh dari Kata Adil, Juliana Tumpuakan Harapan pada MA RI Memutus Perkara 233/Pdt.G/2018/PN Btm

BATAM. NEWSSANTIKORUPSI.COM – Kepala Cabang PT WDSS Batam Juliana, meminta Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia, memutus perkara mereka dengan objektif. Dan sesuai fakta-fakta hukum yang telah diajukan di memori kasasi pada perkara awal 233/Pdt.G/2018/PN Btm di Pengadilan Negeri Batam.

Diceritakan Jualiana Jumat (10/7/2020) saat ditemui wartawan di Mapolda Kepri di Nongsa, perkara bernomor 233/Pdt.G/2018/PN Btm tersebut merupakan gugatan perkara wanprestasi. Yang diajukan oleh PT Jati Catur Niaga Trans dan Wiko sebagai Penggugat. “Dalam posisi perkara ini perusahaan kami adalah sebagai tergugat,” kata Juliana.

Bacaan Lainnya

Perkara gugatan wanprestasi tersebut bergulir di persidangan di Pengadilan Negeri Batam. Disidangkan oleh Ketua Majelis Hakim Reni Pitua Ambarita, anggota majelis hakim 1 Egi Novita dan Anggota majelis 2 Marta Napitupulu.

Pada pokok perkara adalah, perjanjian sewa-menyewa tongkang Jaya Negara 8 milik PT Jati Catur Niaga Trans. Pihak PT WDSS sebagai penyewa. Dan perjanjian sebelumnya dibuat pada 10 Januari 2018 lalu. Pihak PT WDSS menyewa tongkang itu selama enam bulan terhitung sejak 25 Januari 2018.

Pada 2 Maret 2018, tongkang itu mulai dioperasikan oleh PT WDSS selaku penyewa. Bertolak dari pelabuhan CPO Kabil Batam tujuan ke daerah Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur dengan muatan pipa. Namun, setelah berangkat selama empat hari di tengah laut, kapal tongkang yang disewa pihak Juliana tersebut mengalami kebocoran bagian lambung bawah.

“Saat itu juga, kami kabari ke pihak perusahan pemilik kapal tongkang. Nah, Sepanjang perjalanan hingga pada 14 Maret 2018 itu kru kapal kami bekerja ekstra memompa air, kalau tidak bisa tenggelam kapal karena kepenuhan air,” jelas Juliana.
Untung lah muatan kami saat itu hanya sekitar 1200 ton, jika sampai 2000 ton maka dipastikan tongkang beserta muatan akan karam di tengah pelayaran. Sedangkan kapasitas muatan maksimal untuk ukuran tongkang sewaan tersebut seharusnya dapat mengangkut hingga 4000 ton, tambah Juliana.

Setelah dikabarkan ke pihak PT Jati Catur Niaga Trans, menurut Juliana pihak tersebut tidak memberikan sambutan positif saat itu. Hingga akhirnya, pihak perusahaan PT WDSS sebagai penyewa melakukan inisiatif hingga bagian yang bocor kapal itu diperbaiki di Banyuwangi.

“Malah kru kami dituduh tidak profesional menakhodai kapal sehingga mengalami benturan dan bocor. Itu tidak benar, menurut pantauan kami kapal yang bocor itu karena keropos. Kalau kena benturan pasti penyot atau cekung saja. Tapi ini kan tidak ada. Artinya kapal ini patut kami duga tidak layak berlayar. Kami merasa tertipu atas ini,” ujar Juliana.

Juliana mengatakan, ketertarikan mereka sebelumnya menyewa kapal itu adanya surat kelayakan dari PT Biro Klasifikasi Indonesia (Persero). Nyatanya menurut dia, tidak selayak yang dikatakan oleh Biro Klasifikasi Indonesia Cabang Batam, antara yuridis dan teknis tidak sinkron, sesal nya. Juliana menduga, oknum Biro Klasifikasi Indonesia disuap oleh oknum tertentu sehingga prosedur penerbitan sertifikat kelayakan itu tidak dijalankan sebagaimana mestinya.

“Inti persoalan di situ. Kami mau menyewa tongkang itu karena surat dari Biro Klasifikasi Indonesia. Artinya layak. Padahal justru sebaliknya. Patut kami menduga, oknum Biro Klasifikasi Indonesia bermain atas persoalan ini sehingga main lolos lolos saja. Akibatnya kami mengalami kerugian sekitar Rp1,7 miliar,” terang Juliana.

Sepanjang perbaikan kapal tongkang itu, pihak pemilik tongkang tetap menagih uang sewa, tanpa mau mengindahkan semua keluhan pihak Juliana. Padahal menurut Juliana, tidak semestinya mereka membayar sewa selama perbaikan. Sebab, dampak kerusakan bukan dari mereka. Melainkan korosi atau kekeroposan plat kapal yang semestinya tidak berlayar, dan merupakan tanggung jawab pemilik.

Singkat cerita, perkara bergulir di pengadilan. Hingga pada Kamis 26 September 2019, pengadilan negeri Batam memutus perkara bernomor 233/Pdt.G/2018/PN Btm tersebut. Dan anehnya kata Juliana, justru pihak penggugat dalam hal ini PT Jati Catur Niaga Trans dan Wiko dikabulkan oleh Ketua Majelis Hakim Reni Pitua Ambarita, anggota majelis hakim 1 Egi Novita dan Anggota majelis 2 Marta Napitupulu.

Pada sesi ini, Juliana menduga ketiga hakim itu tidak cermat dan tidak profesional dalam memutus perkaranya. Sebab menurutnya, semua bukti-bukti dan fakta hukum perkara itu diajukan oleh PT WDSSD melalui kuasa hukumnya, terkesan tidak diperdulikan ketiga hakim itu. Bukti bukti yang diajukan oleh pihak PT WDSS diabaikan, padahal justru di bukti bukti kerusakan tongkang itulah sebenarnya letak permasalahan keseluruhan dari perkara ini.

“Kami menilai, hakim Reni Pitua Ambarita, Egi Novita dan Marta Napitupulu tidak objektif memutus perkara ini. Bukti-bukti kami sepertinya diabaikan. Padahal posisi kami adalah pihak yang dirugikan. Patut kami menduga, ada dil-dilan hakim dan penggugat pada perkara ini. Kami sangat dirugikan,” kata Juliana menjelaskan.

Bahkan anehnya jelas Juliana, dalam putusan perkara tersebut pihak tiga majelis hakim itu membuat peletakan sita aset, yakni satu unit kapal yang tidak ada hubungannya dengan perkata ini. Dan juga, sita aset tanpa pemberitahuan kepada PT WDSS selaku tergugat dan pemilik aset yang disita.”Ini kan salah kaprah semua. Memang sejak awal, kami menduga hakim ini tidak objektif. Putusan bermuatan subjektif dan tidak berkeadilan,” kata dia menerangkan.

Tak mau menyerah begitu saja. Katanya, PT WDSS mengajukan upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Sembari, melaporkan tiga hakim Reni Pitua Ambarita, Egi Novita dan Marta Napitupulu ke Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia ke Jakarta, Ombudsman, dan ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Atas dugaan, tidak profesional dan ada ketidaknetralan ketiga hakim itu dalam memutus perkara.

“Kami minta Komisi Yudisial juga, jangan berhenti begitu saja. Kami ingin ditindak semua, agar berkeadilan bagi kami. Kami percaya, bahwa Komisi Yudisial profesional memeriksa laporan yang telah kami layangkan. Kami menunggu hasilnya,” terang Juliana memohon.

Masih dengan pemaparan Juliana. Katanya, hasil upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi Pekanbaru, keadilan menurut Juliana belum memihak kepada mereka sebagai pemohon banding (semula tergugat). Sebab, Perkara yang diputus oleh hakim pengadilan tinggi Pekanbaru yakni Hakim Ketua Agus Suwargi, Hakim Anggota Rumintang, dan
Hakim Anggota 2 Hasmayetti justru menguatkan putusan pengadilan negeri Batam.

“Kan semua merugikan kami. Kami menduga, pihak pengadilan tinggi ini juga tidak cermat membaca memori banding kami. Sehingga keadilan itu tidak memihak kepada yang benar,” ungkap Juliana.

Perjuangan Juliana dan kuasaha hukum tidak berhenti begitu saja. Mereka melakukan upaya hukum melalui kasasi di Mahkamah Agung RI di Jakarta. Bahwa menurut Pemohon Kasasi /Pembanding, Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru yang telah menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Batam tersebut adalah telah mengandung kekeliruan di dalam pertimbangan-pertimbangan hukumnya.

“Sehingga sampai menyebabkan terjadinya keputusan yang keliru, tidak benar dan merugikan kami sebagai Pemohon Kasasi. Maka dari itu Pemohon Kasasi merasa keberatan atas putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru tersebut di atas. Dan kami memohon, keadilan untuk itu. Senantiasa, Mahkamah Agung RI memutus perkara objektif dan membaca seluruh memori kasasi kami. Dan kami percaya, lembaga negara Mahkamah Agung RI profesional memutus perkara kami,” kata Juliana memohon.

“Jika perlu, adakanlah pemeriksaan saksi saksi ahli, agar para ahli diberikan kesempatan untuk menentukan, kebocoran tongkang itu disebabkan oleh apa ? Apakah karena kesalahan pengoperasian seperti tuduhan mereka atau karena ketidak-layakan nya, itu sangat penting dalam hal ini”, tandas Juliana.

Hingga berita ini diturunkan, wartawan masih berupaya melakukan upaya konfirmasi kepada pihak-pihak yang dianggap kompeten dalam pemberitaan ini.(Red)

Pos terkait