Pemuka Masyarakat Toraja Minta Tanggungjawab Istaka Karya Soal BPJS Pekerja yang Tewas di Nduga

TORAJA UTARA, NAK – Terkuaknya kabar PT Istaka Karya (Persero) tidak menjaminkan pekerja proyek yang bertugas untuk proyek pembangunan jembatan di Nduga, Papua, ke dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan (jamsostek) seperti diungkap pihak Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pada sebuah media online nasional, mengundang reaksi para pemuka masyarakat Toraja yang ada. Salah satu yang memberi respon adalah DR. Ir. Tangke Rombe, MH, pemuka masyarakat Toraja yang juga mantan Sekda Pania di Papua.
Kepada awak media ini, via telepon genggam, Minggu siang (9/12), Tangke Rombe yang juga mantan Plt. Bupati Pania, menyatakan keprihatinannya atas keluarga korban terkait hak jamsostek para pekerja itu. “Kasian mereka keluarga para korban. Perusahaan harus bertanggungjawab, jangan lepas tangan soal BPJSnya. Berikan hak mereka, kenapa tidak diasuransikan. Makanya kedepan kita berharap perlindungan terhadap tenaga kerja khususnya di bidang konstruksi oleh perusahaan harus benar-benar dipersyaratkan dalam mengerjakan proyek,” ujarnya.
Pendapat sama dilontarkan Pither Ponda Barany, SH, MH, Pengacara yang juga Pakar Hukum Pengadaan dan Jasa Konstruksi. Menurut Pither, dalam kasus penembakan itu, pihak Istaka Karya-lah yang bertanggungjawab atas jaminan sosial ketenagakerjaan. “Karena kan perusahaan itu sebagai pengguna dan penanggungjawab tenaga kerja,” ungkapnya lewat WhatsApp (WA), Minggu sore, kemarin.

Pertanggungjawaban sosial perusahaan atas meninggalnya para korban, kata Pither, harus hingga selesai pemakaman. Bahkan sampai kelangsungan hidup keluarga mereka.
“Pemerintah sebagai pemilik BUMN PT Istaka Karya berperan aktif dalam masalah pemberian tunjangan dan dana kedukaan bagi keluarga korban,” tambahnya.
Jaminan sosial tenaga kerja biasanya sudah terinci dalam RAB sebagai item belanja untuk BPJS pekerja. Nilai jaminannya tidak besar, yakni sekitaran 0,3% dari nilai di luar PPn. “Soalnya di Papua Barat sudah menjadi kewajiban perusahaan untuk menjamin pekerjanya dengan BPJS. Nanti dari BPJS akan menerbitkan surat dan surat itu sebagai salah satu persyaratan untuk penagihan termin.

Bacaan Lainnya

Jika tidak ada surat dari BPJS, keuangan tidak akan mau mencairkan terminnya,” ungkap salah seorang praktisi konstruksi di Papua menanggapi hal ini.
Sumber yang enggan disebut namanya ini menduga, ada kemungkinan perusahaan tersebut mau cari untung dengan memutar dulu di tempat lain dana BPJS tersebut. “Makanya ketika ada kejadian mereka mau urus, istilahnya mencoba memanipulasi, tapi sayang BPJS sudah mendengar kejadian tersebut. Yang tanggung bukan subkontrak tapi main kontraknya. Karena main kontraktor yang terkontrak dengan pihak pemerintah, bukan subkontrak. Karena jenis kontrak bukan KSO atau JO sehingga full harus ditanggung sama main kontraktor. Jadi main kontraktor yg harus menanggung seluruh korban,” jelas sumber.
Hal ini sejalan dengan Syarat-Syarat Umum Kotrak (SSUK) proyek pada point 57 tentang Asuransi yang menyatakan, pihak penyedia mengasuransikan pihak ketiga sebagai akibat kecelakaan di tempat kerjanya dan hal-hal lain yang ditentukan berkaitan dengan asuransi. Pihak ke-3 dimaksud termasuk subkon dan pekerja lepas. Besarnya asuransi sudah diperhitungkan dalam penawaran dan termasuk dalam nilai kontrak.
Sehingga jika mengklaim cukup dengan menggunakan SSUK tersebut. “Dari sini jelas pihak mana yang bertanggungjawab,” beber Ir Silas Kende MT, mantan Kadis PU Sorong Selatan, Papua Barat.

Silas menganggap perlunya pendampingan terhadap keluarga korban untuk hal-hal yang masih menjadi hak para pekerja tersebut.
Untuk diketahui, Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan Poempida Hidayatulloh sebelumnya mengatakan proyek yang dikerjakan di Kabupaten Nduga itu memang tidak terdaftar dalam program jaminan jasa konstruksi.
Dengan demikian, BPJS Ketenagakerjaan tidak memiliki kewajiban untuk memberikan santunan kepada puluhan pekerja proyek yang menjadi korban penembakan di Papua pada akhir pekan lalu.

“Segala sesuatu yang menjadi hak karyawan sesuai dengan Undang-Undang (UU) yang ada, menjadi kewajiban perusahaan 100 persen,” ucap Poempida, Jumat lalu (7/12).
Poempida menekankan ahli waris dari pekerja proyek yang menjadi korban berhak menuntut santunan kepada Istaka.

Hal ini diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 166 yang menyebut hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia. Untuk ahli warisnya, diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan dua kali uang pesangon, satu kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.

Kepala Divisi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan Irvansyah Utoh Banja menjelaskan Istaka Karya sebenarnya merupakan salah satu perusahaan yang juga menjadi peserta di BPJS Ketenagakerjaan.

Namun, perusahaan itu belum mendaftarkan pekerja untuk proyek Jembatan Kali Aorak (KM 102+525) dan Jembatan Kali Yigi (KM 103+975) di Distrik Yigi, Nduga ke BPJS Ketenagakerjaan.

“Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, jika tak terdaftar dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan, maka jadi tanggung jawab perusahaan,” papar Utoh.
Sebaliknya, jika terlindungi oleh BPJS Ketenagakerjaan, maka pekerja yang meninggal karena kecelakaan kerja itu berhak mendapatkan santunan 48 kali dari upah.

Sementara, jika meninggal bukan karena kecelakaan kerja akan mendapatkan santunan sebesar Rp24 juta dan beasiswa untuk satu anak.

(Tommy)

Pos terkait