Buruh meminta tuntutan sebanyak tiga, mengenai penetapan UMK Kota Batam

Batam, NAK – Serikat Buruh kembali negosiasi kepada pemrintah mengenai UMK Kota Batam.

Ratusan buruh kembali unjukrasa di depan Pemko Batam untuk menyampaikan lagi aspirasi mereka. Buruh meminta tuntutan sebanyak tiga mengena penetapan UMK Batam.

Bacaan Lainnya

Persatuan serikat pekerja menggelar aksi unjuk rasa dan mengajukan beberapa tuntutan buruh yang disampaikan saat saat berkunjung di depan Kantor Walikota Batam, Rabu (31/10/2018).

Ada pun tuntutan mereka yaitu, tolak PP Nomor 78 Tahun 2015, kedua menolak surat edaran Menteri Tenaga Kerja dengan kenaikan UMK Sebesar 8.03 persen dan ketiga naikkan upah minimum tahun 2019 sebesar 20 hingga 25 persen.

“Kebijakan pemerintah kali ini seperti mengikat kaki buruh pekerja sehingga tidak bisa bergerak kemana-mana untuk mendapatkan haknya,” ungkap Tim Anggota Dewan Pengupahan Kota Batam (DPK), Hendra.

ketika berunding bersama pengusaha dan pemerintah diakui, PP Nomor 78 sudah memblok para buruh di Batam yang tidak bisa menentukan KHL.

“Kami harap pemerintah bisa mencabut PP Nomor 78 yang ada pada saat ini.Sama halnya dengan Anggota Dewan Pengupahan Kota lainnya, Ramon mengatakan,” selain PP Nomor 78, surat edaran Menteri Tenagakerja tentang pengupahan, para buruh jelas menolaknya.

Apalagi janji Wali Kota Batam, Muhammad Rudi sewaktu kampanye berjanji untuk mensejahterakan kaum buruh di Kota Batam.

“Pemerintah daerah yang pilih adalah masyarakat kota. Kami minta wali kota menolak sewaktu memutuskan UMK Kota Batam berpatokan pada surat Menteri Tenaga Kerja tersebut.

Wali Kota harus ingat janjinya mensejahterakan kami,” pungkasnya.

saat ini tarif listrik dan BBM mengalami kenaikan. Tak sebanding dengan dengan upah pendapatan sehari-hari, UMK yang didapat oleh kaum buruh sekarang sangat minim.

kami hanya meminta penyesuaian 20 hingga 25 persen. Kami juga menolak bbm dan listrik naik,” katanya.

Anggota Dewan Pengupahan Kota Batam lainnya, Masrial mengakui tidak bisa turut serta merumuskan upah minimum kota akibat PP Nomor 78 tahun 2015. Sehingga fungsi perundingan tidak ada gunanya.

“Apa gunanya terus berunding sementara endingnya harus mengikuti PP Nomor 78,” tutupnya.

(Red/heper)

Pos terkait